Minggu, 18 Mei 2008

Isu Diskriminasi Jender dalam Film "The Hours"

Peneropong: Postinus Gulö. Judul film: The Hours. Pemain film: Virginia Woolf, Julianne Moore, Meryl Streep, Richard, Cs.
* * *
Perempuan, sosok lembut penuh kerahiman. Ia ibu semua manusia. Semua manusia pernah bersemayam dalam rahim perempuan. Di rahim, kita berenang dalam kenyaman. Sembilan bulan lamanya. Tiada derita. Yang ada serba ada. Yang ada serba senang. Jika dunia ini ibarat rahim, dunia ini begitu nyaman.

Akan tetapi…..ketika jabang bayin lahir. Ia bukan senang. Ia gelisah. Kenyamanan tiada lagi. Lantas ia menangis. Ia mampu merasa: dunia begitu tidak jelas. Penuh perjuangan. Rasa mesti diolah. Pikiran mesti dipelihara. Sikap mesti dikontrol. Kalau tidak, segalanya chaos. Di dunia, senang adalah produk design manusia. Ia bukan seperti rahim yang tinggal “dinikmati” jabang bayi.

Peranan perempuan begitu berharga. Tetapi, mengapa mereka terus ditindas, dipandang kelas dua, laki-laki yang salah jadi? Ketertindasan perempuan itulah yang diangkat dalam film ini. Selamat membaca dan berenung……….!
* * *

Kata pertama dan penting: film ini berbicara tentang diskriminasi-jender. Sutradara mengekspos pengalaman ketertindasan perempuan pada kurun waktu 1920-an sampai Perang Dunia II. Zaman itu penuh kegetiran. Perempuan dilecehkan habis-habisan. Dianggap sampah. Bukan manusia! Mereka hanya objek penderita dan objek kekuasaan. Film ini sungguh melukiskan gejolak ketertindasan itu. Tampilan dan suasana penuh ketegangan merupakan manifestasi pengalaman dari ketiga perempuan yang menjadi actor utama dalam film ini.

Di tengah kerasnya hidup, ketiganya mencari kesejatian dirinya, mencari identitas dirinya atau makna hidupnya. Mereka hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam pencarian makna hidup itu, ketiganya saling mengalami yearning (kerinduan) akan adanya kebebasan dan keadilan. Dikala mereka berjuang, tekanan yang membabi buta terus meneror mereka. Begitu tragis. Hidup ini seolah bukan milik mereka. Kebebasan seolah bukan milik mereka. Ruang kebebasan itu tiada lagi. Seolah mereka adalah musuh paling jahil. Selevel aktor teroris Osama Bin Laden. Mereka dianggap perlu tiada. Tak berguna. Kalau perlu dibasmi. Seolah dunia ini tidak layak mereka huni.

Virginia Woolf hidup tahun 1920-an di pedalaman kota London. Ia seorang penulis novel terkenal berjudul “Mrs. Dalloway”. Saat masih belia ia pernah mendapat perlakuan semena-semena: diperkosa saudara tirinya sendiri. Ia frustrasi. Hidupnya tak berharga lagi di matanya. Keperawanannya direguk orang yang seharusnya menjaga dan melindunginya. Tiada pilihan selain bunuh diri. Barangkali itulah pertimbangannya saat ia bunuh diri. Maka hati-hatilah di saat anda frustrasi. Hati-hatilah di saat anda mengalami pengalaman kelam. Jangan ambil keputusan saat anda masih marah. Jangan memutuskan sesuatu saat anda frustrasi. Anda tidak berpikir panjang saat itu. Anda lebih memilih jalan pintas, cepat tapi tidak bijak. Jangan tutup ruang hatimu menjadi tak ber-ruang. Jangan jadikan hatimu bagai monad tanpa jendela. Jangan jemput kematian sebelum menjemputmu. Nikmati kehidupan selagi masih hidup. Ia anugerah sekaligus tantangan. Tantangan bukanlah neraka. Cobaan bukanlah petaka. Ia adalah tindakan egois manusia. Jika anda merasa manusia, tugasmu adalah mengubah konflik menjadi harmoni. Konflik jangan diakhiri dengan tindakan tragis: bunuh diri.

Laura Brown (nama aslinya: Julianne Moore) adalah seorang wanita yang tinggal di Los Angeles pada saat-saat berakhirnya Perang Dunia II. Ia nyaris bunuh diri. Sebab ia merasa terperangkap dalam kehidupan normal yang dituntut masyarakat kelas menengah tahun 1950-an di kawasan pinggiran kota Los Angeles yang makmur; tetapi sebetulnya bukan kehidupan yang dia kehendaki. Baginya hidup normal adalah hidup tidak normal. Yang normal adalah tidak normal. Baginya, kebebasan adalah ketiadaan aturan. Segalanya suka-sukanya. Mungkin inilah suara yang terbersit dalam hatinya. Namun, setelah dia membaca novel Mrs. Dalloway, Laura Brown mendapat semacam revelatory yang menyadarkan dia bahwa hidupnya sedang terperangkap dalam proses kehancuran: membenarkan yang tidak benar, menolak kenormalan sebagai ketidaknormalan. Kesadaran semacam inilah yang mendorong Laura Brown mencoba mengubah cara hidupnya. Tidak jadi bunuh diri.
Clarissa Vaughan (Meryl Streep) berperan sebagai Woolf kontemporer (wajah baru Woolf) yang menulis novel Mrs. Dalloway. Ia hidup di kota New York. Lesbian, adalah gaya hidup yang ia pilih. Ia sosok kompleks. Tampaknya ia juga biseks. Sebab, ia terlibat dalam percintaan dengan temannya yang bernama Richard, seorang penulis puisi yang sangat brillian. Gonta-ganti pasangan berakibat buruk. Hal itu dialami Richard: ia mati gara-gara AIDS.
Lebih jauh, inti yang mau diungkapkan dalam film ini adalah tentang simbol. Simbol itu adalah bahasa interior yang setiap orang bisa memiliki arti konotasi tersendiri. Ketika Vaughan dan Richard saling mencintai, tak ada tindakan yang bisa mewakili kata selain pemberian setangkai bunga. Bunga begitu berarti, menyimbolkan betapa dalamnya cinta Vaughan terhadap Richard. Namun, cinta yang bisa menimbulkan kebahagiaan istimewa bagi pelakunya menjadi sirna ketika seseorang dilanda penderitaan, penyakit. Richard adalah sosok yang sangat dikagumi oleh Vaughan. Dunia ini seolah tak berarti tanpa Richard. Namun, dalam perjalanan waktu, setelah Richard dilanda AIDS, Richard menjadi berubah sikap: dunia menjadi terlalu terang, menyilaukan baginya. Oleh karenanya, ia menyimpulkan bahwa anugerah (dicintai, diberi bakat sebagai seorang pengarang puisi yang dikagumi banyak orang) adalah sebuah kecelakaan, pembawa petaka baginya. Tidak hanya itu, Richard sadar, seks bukan sekedar kenikmatan. Seks adalah ungkapan kejujuran. Seks adalah ungkapan cinta. Dan cinta adalah kejujuran itu. Seks bukan jawaban atas nafsu semata. Seks mesti terarah. Jangan gonta-ganti pasangan. Anda mengikuti nasihat ini, silakan. Tidak juga tidak apa-apa. Namun, memilih “tidak” anda mesti siap diserang penyakit mematikan: AIDS.

Karakter yang lebih ekstrim dari ketiganya adalah Virginia. Ia adalah sosok yang tidak mau dikawal, diatur oleh orang lain, oleh siapapun. Baginya, hidup yang selalu diatur orang lain adalah hidup yang kabur, tidak bermakna. Virginia mendobrak dominasi dan menggantinya dengan otonomi. Sikapnya ini sebagai ekspresi pencarian identitas diri. Ia tidak mau kalau hidupnya terus dicekokin oleh orang lain. Singkatnya, ia tidak rela hidupnya selalu berada di bawah payung tekanan. Ia tidak rela membiarkan dirinya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ia ingin menjadi manusia. Dan, ia ingin diperlakukan secara manusiawi. Harapan Virginia ini adalah harapan semua perempuan. Mereka bukan kelas dua. Mereka bukan lelaki setengah jadi. Mereka adalah manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Film adalah media. Media mengungkap imaji dan realita kehidupan. Banyak inspirasi dari resume film ini. Terima kasih.

Bestfriends