Jumat, 23 Mei 2008

Paradigma Masyarakat Cina (Terinspirasi Film The Hero)


Judul Film : The Hero. Pemain : Wu Ming, Fei Xue, Can-Jian, Liu Shui, etc. Peneropong: Postinus Gulö

Film The Hero menarik, sekurang-kurangnya bagi saya sendiri. Menarik karena filofosis. Sisi kefilosofiannya terlihat dari isinya. Isinya adalah paradigma Cina yang spektakuler dan piawai itu. Selamat menikmati suguhan ulasan ekspansif sederhana film ini, tentu, dari perspektif saya sebagai peneropong.

Kaisar (raja) adalah simbol Our Land (pemersatu)

Wu Ming (nameless) adalah seorang pemuda yang kuat dan tangkas. Ia berasal dari Kerajaan Zhao, tetapi dibesarkan di Kerajaan Qin. Antara Qin dan Zhao saling bermusuhan. Demikian juga Fei Xue, Can-Jian dan Liu Shui berasal dari Zhao. Namun, di antara mereka hanya satu orang yang mengerti paradigma Cina bahwa raja tak boleh dibunuh, walaupun ia sangat kejam. Pemuda itu bernama Can Jian.

Bagi Can Jian, Kaisar adalah pemersatu dan pendamai yang dalam bahasa Can Jian (juga Wu Ming setelah disadarkan Can Jian) disebut simbol “OUR LAND”. Itu sebabnya Can Jian tidak terpengaruh dengan tindakan teman-temannya yang berusaha membunuh sang Our Land. Di akhir cerita, Wu Ming sadar “lebih baik satu orang mati demi orang banyak”. Wu Ming bersedia mati asal sang raja selamat. Raja adalah “kepala” rakyat. Raja adalah daya ikat dan daya pikat yang mempersatukan yang tercerai-berai. Jadi, di sini yang ditekankan adalah menang itu bukan berarti mengeliminasi yang lain. Perang harus berujung pada perdamaian. Tesis Can Jian ini benar. Pada tahun 201 B. C, Kaisar Qin Shi Huang menjadi raja pertama Qin dan berhasil mempersatukan masyarakat Cina. Filsafat Cina tidak mengenal dikotomi. Antara dua sisi yang berbeda “saling” menjadi bagian dari yang lain. Itu sebabnya, hal yang paling mendasar dalam paradigma Cina adalah harmoni dan keseimbangan.

Relasional-Harmoni

Harmoni adalah salah satu tema pokok filsafat Cina. Penonjolan gerak dan diam, sedikit dan banyak, kaligrafi(diam) dan panah (gerak) dalam film The Hero, sebenarnya sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Cina berparadigma: di antara dua kutub harus dicari jalan tengah, keseimbangan, hubungan relasional-harmoni. Relasional-harmoni tersebut dapat kita lihat juga dalam beberapa paradigma Cina yang cukup filosofis.

Pertama, Yin-Yang: adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air, perempuan, simbol kematian, dan dingin. Yang itu bersifat aktif, gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, simbol untuk hidup dan simbol panas. Segala sesuatu dalam kenyataan manusia adalah sintesis harmonis dari derajat Yin dan Yang.

Yin-Yang saling tergantung dan saling melengkapi, selalu berhubungan dan secara terus-menerus saling memberi kekuatan (simbiosis mutualistis). Jadi, antara Yin dan Yang terjadi keseimbangan, dan harmoni. Menurut Tao The Ching, suatu kekuatan, objek atau gagasan tak akan lengkap bahkan tak berarti tanpa ditunjang keadaan sebaliknya. Kesulitan dan kemudahan saling melengkapi. Panjang dan pendek saling membanding. Tinggi dan rendah saling membedakan. Kebaikan tak punya arti tanpa kejahatan, kecantikan tak akan dipandang tanpa kehadiran si buruk sebagai pembanding.

Kedua, Feng Shui: yang ditekankan adalah harmoni antara manusia dengan alamnya. Atmosfir rumah, misalnya bisa berpengaruh pada manusia yang menghuni rumah tersebut. Ketiga, Penghormatan Leluhur dan Dewa-Dewi. Di balik ritual penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewi, sebenarnya ada yang perlu dicapai orang Cina yakni demi membina relasi terhadap leluhur dan dewa/i. Roh nenek moyang (makhluk halus) bagi orang Cina dipahami secara fisikal. Ia juga bisa memberi rezeki, dan kemakmuran kepada anak cucu-cicitnya. Oleh karena itu, relasi itu penting agar hubungan kekeluargaan (dengan nenek moyang) tidak pernah putus. Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.

Pluralisme

Orang Cina sangat menghargai pluralisme (keperbedaan). Penerimaan mereka terhadap pluralisme dapat kita lihat dalam paham mereka tentang beberapa ide universal, antara lain: Pertama, Toleransi. Bangsa Cina pada dasarnya menghargai pendapat orang lain, sehingga Cina memandang pluralitas sebagai hal yang mesti diterima dan wajar. Kedua, Perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris (humanis) daripada filsafat Barat. Prinsip humanis merupakan inti ajaran Konfusius.

Gerak dan Diam (hening)

Dalam film The Hero, kedua term ini begitu tampak. Pemimpin Zhao melalui kaligrafinya percaya bahwa mereka tidak apa-apa dengan serangan panah dari Qin. Zhao percaya bahwa panah (bergerak) bisa dilawan dengan hanya duduk diam sambil melukis kaligrafi. Jadi, yang bergerak dilawan dengan yang diam. Kita mungkin masih teringat kata-kata Rinzai, seorang Master Zen (sekitar abad ke-9 masehi): "Jika kamu ingin menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu ingin menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak”. Diam, dalam filsafat Cina di sebut Chanisme, mengajarkan tentang: perwujudan ketunggalan sejati individu dengan budi semesta (kekosongan). Budi semesta dipahami sebagai wu nian (tiada pikiran), wang jing (melupakan perasaan), dan ren xin (membiarkan budi menempuh jalan sendiri)- lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm., 138.


Konstruksi Berpikir Pola Tiga

Paradigma Pola Tiga tidak hanya Cina yang memilikinya. Sunda juga sama. Walaupun dengan istilah yang berbeda : tritangtu. Pola tiga masyarakat Cina tercermin dalam paradigma berpikir dan bertindak mereka tentang filosofi pedang, marga dan harta kehidupan.

Marilah kita mengulas paham masayarakat Cina tentang pedang. Dalam film The Hero, ada 3 tahapan untuk memahami apa itu pedang. Pertama, pedang adalah manusia dan manusia adalah pedang. Singkatnya ada kombinasi antara manusia dan pedang. Bahkan rumput yang ada di tangan manusia pun bisa menjadi pedang. Kedua, pedang ada di dalam hati. Inilah yang disebut dengan tenaga dalam: melawan yang bergerak dengan sikap diam. Ketiga, tidak (perlu) ada pedang. Tahap terakhir ini merupakan tahapan tingkat tinggi. Karena di sini dipahami bahwa pedang bukan lagi untuk membunuh melainkan untuk kedamaian dan memperjuangkan hidup manusia.

Lantas bagimana paham masyarakat Cina tentang marga ? Bagi masyarakat Cina ada 3 Karakter Marga. Pertama, marga yang terdiri dari satu karakter. Kedua, marga yang berkarakter ganda. Ketiga, marga yang berkarakter 3 sampai 9. Angka 9 berarti kelipatan dari angka tiga juga. Di balik pemakaian marga ini sebenarnya juga mau mengungkapkan bahwa Cina selalu terikat pada kultur, walaupun mereka berada di perantauan. Marga inilah yang memperat tali persaudaraan, bahkan jaringan kerja dan bisnis masyarakat Cina kadang terbangun berkat daya ikat marga itu.

Terakhir adalah tentang Tiga Harta Kehidupan. Dalam ilmu kesehatan Taoisme ada tiga harta kehidupan yakni, jing (esensi), chi (energi), dan shen (spirit). Seperti Yin dan Yang, tiga harta ini berbeda namun mereka saling bergantung antara satu dengan lainnya, tetapi tidak saling melebur. Chi adalah mediator, penengah, penghubung. Menurut Taoisme, semua bentuk kehidupan di jagat ini digerakkan oleh chi yang notebene tak kelihatan, hening, tak berbentuk sebelum menembus segala sesuatu.

Marilah kita mengikuti ulasan seputar tiga harta kehidupan ini. Jing mengandung 3 unsur: esensi darah, esensi hormon, esensi yang yang termasuk cairan berat (kelenjar, pelumas di persendiaan tulang dan jaringan lain yang berhubungan dengan air mata, keringan dan urine).
Chi terbagi tiga: yuan-chi (energi primordial, biasanya ada pada anak-anak), yang-chi (energi yang berkembang dalam tubuh selama berlangsungnya hubungan seksual yang bersatu dengan kehangatan, kecerahan dan gerak) dan wei-chi (energi pelindung). Dalam versi Feng shui, energi terdiri dari 3 macam: Pertama, Heaven Chi (Tian Chi) : energi langit/semesta yang terpancar dari surga ke bumi (seperti, sinar matahari, sinar bulan, daya tarik bulan yang menyebabkan pasang-surut laut. Kedua, Di Qi atau Earth Chi: menyerap chi alam semesta dan berpengaruh terhadap bumi seisinya. Bangsa Cina percaya bahwa Earth Qi menyusun garis dan pola energi, termasuk medan magnet bumi dan medan panas bumi. Energi ini juga harus seimbang, kalau tidak maka gempa akan terjadi. Ketiga, Ren Chi (energi manusia) yang terpengaruh oleh chi Tian Chi, dan Di Qi.

Nah, harta kehidupan terakhir bagaimana? Taoisme menerima shen (spirit) sebagai kumpulan bunga-bunga dari “tri-tunggal” Tao, yang melayani esensi tubuh seperti layaknya akar pohon dan energi sebagai batang penghubung.

Sirkulasi Energi dan Feng Shui
Dalam ilmu Feng Shui, diyakini bahwa pada dasarnya semua yang ada di jagad raya ini adalah energi (panas, kimia, gerak, cahaya, elektromagnetis, dll.). Oleh sebab itu, siklus energi dalam rumah, misalnya akan berpengaruh pada banyak aspek kehidupan penghuninya. Manfaat Feng Shui dalam rumah sangat berarti terutama dalam menjaga kesehatan dan juga mengantisipasi gangguan lainnya bagi sipenghuni rumah. Misalnya, pasangan suami istri susah mendapatkan anak, bisa jadi karena ada yang tidak cocok dengan tata rumah, ranjang, asesoris rumah lainnya. Singkatnya, Cina berparadigma (dalam feng shui) bahwa manusia mesti menyatu dengan alamnya. Makanya, feng shui juga diartikan sebagai tatanan yang harmonis antara alam dengan makhluk hidup. Tegasnya, Feng Shui mengajarkan pada kita bahwa kita mesti bersahabat dengan alam. Alam itu sangat mempengaruhi hidup-matinya manusia!

Sebagian paradigma Cina di atas terdapat juga dalam kebudayaan Indonesia. Misalnya, feng shui yang mengajarkan bahwa atmosfir di sekitar rumah (termasuk tata letak) mempengaruhi penghuninya, hal itu juga diyakini masyarakat Nias. Di Pulau Nias, ukuran rumah, dan letak rumah (misal, pintu menghadap ke mana: Timur atau Barat, Selatan atau Utara), selalu dicocokkan dengan ukuran badan kepala keluarga. Kalau tidak, rumah tersebut menjadi penghalang rezeki bagi sipenghuninya. Sehingga, saya berhipotesis: Filsafat Cina ini, sebenarnya mewakili filsafat Asia, yang notabene tak kalah canggihnya dengan filsafat Barat. Jika Filsafat Asia (Cina) menekankan harmoni, dan relasional. Barat menekankan dualisme, bipolar, antagonistic (misalnya, a dan bukan a) yang selalu dipertentangkan, bukan diperpadukan dan diseimbangkan.

Berdasarkan paradigma-paradigma di atas, masyarakat Cina itu selalu menekankan sisi mistik, sedangkan Barat adalah sisi rasionalitas. Mungkin bagi Cina sendiri, paradigma mereka adalah sesuatu yang rasional. Sedangkan paradigma Barat (bagi Cina) sesuatu yang irasional, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, tentu kedua kubu ini selalu menawarkan kebenaran dan paradigmanya sesuai cara berpikirnya. Hal lain yang perlu saya komentari adalah jika Barat melihat waktu secara linear, masyarakat Cina melihatnya lain: siklis. Hal itu bisa kita lihat dalam paradigma Cina bahwa jagad raya ini, diatur oleh sirkulasi energi. Pada titik itu, jangan-jangan paradigma Cina ini, bertendensi seperti teorinya Einstein yang mengatakan: materi = immaterial, yang ujung-ujungnya mengakui bahwa yang kekal di jagad ini adalah energi. Menurut Bpk. Prof., Dr. Ign. Bambang Sugiharto (dalam kuliah logika dan Bahasa), penekanan pada energi, relasional dan harmoni itu sangat kental dalam teori Santiago; walaupun dengan bahasa yang agak berbeda, yakni bahwa yang kekal adalah tendensi. Tendensi bisa diartikan sebagai energi. Sedangkan prinsip relasional a la Santiago adalah bahwa segala makhluk di alam ini berada dalam jaring-jaring interaksi kognitif, ibarat rantai makanan. Jika demikian, energi dan relasi itu sangat penting untuk memahami realitas. Saya sangat kagum akan paradigma-paradigma Cina ini, terutama kecanggihan mereka memadukan antara kebudayaan dengan kecanggihan rasionalitas dan logika hati. Misalnya, feng shui sering dirasionalisasikan ibarat ilmu fisika, dan seolah-olah tidak berdimensi klenik. Memang, Feng Shui itu adalah local genius yang perlu dipelihara dan dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Bestfriends