Rabu, 21 Mei 2008

Reformasi Gagal?


Oleh Postinus Gulö

“Anda mesti ingat 4 M: memulai, menyelesaikan, meruntuhkan dan membangun” (Anonim).

Modal “memulai dan meruntuhkan” adalah keberanian, inisiatif dan kadang kenekatan. Akan tetapi, “membangun dan menyelesaikan”, membutuhkan modal tenaga, pikiran, ke-ahli-an, strategi, kedisplinan, komitmen dan tindakan nyata. Meruntuhkan itu gampang. Cuma, membangun kembali susah. Meruntuhkan itu waktunya lebih singkat dibanding membangun dari reruntuhan.

Reformasi itu dimulai dan dilahirkan oleh mahasiswa. Mereka berjuang mati-matian hingga ada yang tewas diterjang peluru. Mereka rela mati demi rakyat Indonesia. Tumbangnya Soeharto telah dibayar oleh nyawa mahasiswa. Peristiwa itu terjadi 10 tahun silam. Kini tinggal sebuah kenangan dan peristiwa sejarah. Apa yang diusung oleh mahasiswa hingga kini masih buram. Tegasnya, kita berhasil memulai tetapi gagal menyelesaikannya. Kita berhasil meruntuhkan, tetapi kita gagal membangunnya.

Pemerintah pasca-Soeharto belum berhasil membangun negara Indonesia. Pemberantasan KKN masih tebang pilih. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih terkatung-katung. Pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang berduit. Kebebasan beragama tidak dinikmati oleh kaum minoritas macam Ahmadiyah. Rakyat miskin disubsidi sekaligus dikuras. Maksudnya, mereka disubsidi setelah harga BBM dinaikkan. Padahal, yang menanggung dampak kenaikan BBM adalah rakyat miskin juga. BBM naik, harga sembako pasti naik. Jadi, tidak ada gunanya subsidi yang dijanjikan itu. Itu hanyalah akal-akalan dan “proyek” yang menguntungkan pemilik kepentingan.

Kita bangga, setelah Soeharto tumbang kebebasan berpolitik mendapat angin segar. Namun, perbaikan di bidang ekonomi dibiarkan mati. Rakyat dibiarkan menderita. Rakyat, kalau perlu, muara dampak negatif dari segala kebijakan. Kasihan rakyat miskin ini, sudah miskin, “dibodoh-bodohi” lagi. Itu sebabnya saya setuju dengan perkataan Mahatma Gandhi: “kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk”. Ya...rakyat miskin adalah rakyat yang “dilupakan”.

Tujuan Reformasi adalah memperbaiki dan membangun negara Indonesia. Kita tidak membiarkan Soeharto bertindak otoriter dan KKN. Kita tidak mau jika Soeharto memasung kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat serta kebebasan berkumpul/berserikat. Kita tidak mau jika Soeharto menggilas hak azasi rakyat. Kita pun berusaha dan berjuang melengserkannya. Nyatanya, era Reformasi bukan era perbaikan melainkan era ketidakpastian dan kekacauan. Di era Reformasi kita bukan membangun tetapi sibuk menentukan nasib Ahmadiyah yang notabene hanya berada dalam kuasa Allah, sibuk menangkap dan mendidik para politikus-koruptor. Kita sibuk mencekal artis yang goyangannya “menarik”. Tegasnya, kita habis tenaga hanya mengurus soal selangkangan, soal identitas, dan soal ulah para penguasa. Urusan orang miskin tetap dianggap tak penting! Wahai..saudara sadarlah, marilah kita menyejahterakan diri kita, anak kita, keluarga kita, anak cucu kita dan negara kita. Hentikanlah keegoisanmu!


Era Reformasi belum era demokrasi

Saya kurang setuju jika era Reformasi diidentikkan dengan era demokrasi. Sebab, selama ini ukuran demokrasi bagi kita adalah kebebasan. Padahal, kebebasan yang diekspresikan adalah kesewenangan-wenangan, kebebasan sikut-menyikut, kebebasan mencekal goyangan artis, dan kebebasan menabrak hak orang lain, menabrak hak pengikut Ahmadiyah, kebebasan menabrak hak kaum minoritas dan lemah.

Pantaslah jika ada oknum yang berkata: demokrasi itu hanya alat. Saya setuju! Demokrasi tak lebih dari sebilah pisau. Jika pisau itu berada di tangan dokter mungkin ia menggunakannya sebagai alat bedah. Tetapi jika pisau itu berada di tangan penjahat mungkin ia menggunakannya sebagai alat untuk membunuh. Jika pisau itu berada di tangan anak kecil (masih “bodoh”) ia tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Jika pisau itu berada di tangan tukang besi mungkin ia mengubahnya dan “mempermainkannya” menjadi paku dan peniti.

Persis seperti pengandaian inilah pelaksanaan demokrasi Indonesia. Ada demokrasi yang jatuh di tangan penjahat politik, sehingga mereka menggunakannya untuk menabrak hak Ahmadiyah, hak minoritas dan hak kaum lemah. Ada yang jatuh di tangan “penguasa” sehingga mereka melakukan korupsi. Ada yang jatuh di tangan tukang licik sehingga ia canggih “mempermainkan” demokrasi. Ada yang jatuh di tangan orang “bodoh” sehingga ia tidak mampu mengoperasikan demokrasi. Tetapi, ada yang jatuh di tangan orang yang berhati nurani sehingga ia membela HAM, membela orang miskin dan berani mati hanya untuk itu. Itulah mendiang Munir, misalnya.


Reformasi Gradual

Karl Raimund Popper dalam bukunya, The Open Society and Its Enemies (1966), pernah mengatakan, mereformasi sebuah negara jangan dengan ide utopis (utopia engineering), tetapi mesti dengan tindakan gradual: setahap demi setahap (piecemeal social engineering). Jika kita mereformasi sebuah negara, lihatlah yang mana persoalan yang mendesak, berdampak besar dan tanggapilah itu penuh konsentrasi, penuh kepekaan. Untuk konteks Indonesia, usulan Popper ini bisa dipraktekkan. Misalnya, sektor yang mesti dibenahi pada tahap awal adalah sektor pendidikan.

Sektor pendidikan memiliki dampak yang luas terhadap sebuah negara menuju negara kompetitif dalam ranah global. Coba Anda lihat, mayoritas penganggur Indonesia tak berpendidikan tinggi, mereka tidak punya keahlian, tak punya modal yang mesti “dijual”. Lihatlah rakyat miskin, mereka tidak berpendidikan tinggi sehingga daya saing mereka lemah. Mudah-mudahan rencana pemerintah memberikan beasiswa kepada mahasiswa miskin berprestasi (Kompas 14/5/2008), sukses dan tepat sasaran. Dan, lebih realistis lagi jika pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan, tidak hanya kepada orang miskin yang berprestasi.

Lebih jauh Popper menambahkan. Reformasi gradual ini hanya bisa berjalan dengan lancar jika sebuah negara (rakyat, pemerintah, dan penegak hukum) mematuhi 2 kontrol. Pertama, kontrol internal: kejujuran, disposisi batin, bersedia mengevaluasi diri. Di Indonesia, banyak pejabat mengorupsi uang negara karena tidak mengindahkan kontrol internal ini. Anehnya, para koruptor itu berpendidikan tinggi. Dari kasus empiris ini, yang lebih penting adalah bukan kecerdasan intelektual melainkan kecerdasan hati nurani.

Kedua, kontrol eksternal: kesadaran untuk menaati hukum, bersedia dievaluasi oleh orang lain, dan peka merealisasikan tanggung jawab sosialnya: tidak menabrak hak orang lain dan berusaha mengurangi kemiskinan rakyat. Dalam konteks Indonesia, boro-boro para “pejabat” menaati hukum, malahan “mempermainkan” hukum. Di Indonesia, ada jaksa yang ditahan karena diduga menerima suap. Di Indonesia ada mantan Kapolri dan anggota DPR, bupati, gubernur yang ditangkap karena korupsi. Jadi, bagaimana menegakkan supremasi hukum jika penegak hukum saja melanggar hukum? Dan, apakah kita pantas berkata: era kita adalah era Reformasi?


Postinus Gulö, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati 1o tahun Orde Reformasi (21 Mei 1998 - 21 Mei 2008).

Tidak ada komentar:

Bestfriends